Rabu, 04 Agustus 2021

RUMAH BATU KAKEK SONGKOK

 Rumah Batu Kakek Songkok


Cerpen Lina PW (Kompas, 29 Januari 2017)

 

“Jadi juga pesan pasir?” tanya Sabang pada ayahnya, dengan napas tersengal.

Sabang tinggal tak jauh dari rumah Kakek Songkok, panggilan sang ayah oleh warga kampung. Ia memperhatikan sebuah pikap menurunkan pasir, lalu tergopoh-gopoh menghampiri ayahnya.

“Iye, kita bikin baru rumah kita, jadi rumah batu,” jawab Kakek dengan senyum mengembang sembari membenahi letak songkok. Karena songkok itulah ia dipanggil Kakek Songkok oleh warga kampung. Peci tak pernah lepas dari kepala Kakek. Bahkan, seluruh anaknya kerap memanggil ayah mereka dengan Kakek Songkok.

Sabang mengerutkan kening, yang membuat Kakek teringat pertengkaran dengan putranya dua malam lalu saat Kakek menyampaikan niat menjadikan rumahnya rumah batu.

“Kenapa harus rumah batu? Tak usahlah dengar kata orang,” cecar Sabang. Ia satu-satunya yang tidak setuju keinginan ayahnya mengubah rumah papan menjadi rumah batu. Bagi Sabang, rumah masa kecil harus tetap seperti sedia kala. Apalagi kalau ayahnya mengubah rumah hanya karena omongan tetangga.

“Bukan karena kata orang, sudah lama mau kuubah rumah ini. Lihat ko papannya, ibumu sudah berapa kali jatuh karena papan-papan itu sudah tua,” ujar Kakek Songkok lirih, tubuhnya berkeringat. Tidak sanggup ia beradu mulut dengan putra kesayangannya.

“Aih, tidak, tidak. Rumah kita harusnya biar begini saja. Di sini kenangan kita semua. Kenapa harus diubah?” Sabang setengah membentak ayahnya sambil menunjuk sekeliling rumah. Suaranya meninggi, mukanya merah padam menahan marah.

Sejak hasrat mengubah rumah muncul, dan dikabarkan ke seluruh keluarga, saat itu Sabang sudah menentang. Kakek mengalah, mencoba membujuk Sabang agar paham. Tapi, pertengkaran dua hari lalu itu kini bangkit kembali. Sabang memandang gundukan pasir itu. Ia bayangkan, tak lama lagi pasir-pasir itu akan dicampur semen, merekatkan batu-batu. Bagi Sabang, batu-batu itu bersatu padu melindas kenangan masa kecilnya di rumah kayu yang tak lama lagi akan dirobohkan. Ia banyak melihat keadaan itu terjadi pada kawan-kawan di kota saat sekolah dulu. Saat itu ia hanya tertawa karena yakin kampungnya tetap teguh mempertahankan rumah adat mereka, kenangan mereka akan hidup. Tapi, sekarang tampaknya akan pupus pula kebanggaan itu.

Sabang sadar, tak ada guna lagi menentang. Tak pantas lagi berharap. Semua bilah-bilah kayu itu, jendela-jendela, lantai, usuk, papan-papan, tempat semua kenangan masa kecil melekat dan menancap, akan segera lenyap. Rencana sedang dijalankan, keinginan tengah diwujudkan untuk melumat wujud sejarah sebuah keluarga. Semua akan tinggal kenangan yang mengambang. Melayang-layang mendesak-desak dada.

Mulut Sabang terkunci, ia pulang tanpa pamit, membiarkan Kakek Songkok terdiam hampa. Memang, Sabang sangat keras soal rumah. Ia juga yang menentang saat sang ipar, suami kakak perempuannya, membangun rumah batu sedari awal mereka menikah.


    1. Apa yang sebenarnya Sabang tidak setuju ayahnya mengubah rumah papannya menjadi rumah batu?

Alternatif Jawaban:

Menurut Sabang, rumah papan di masa kecil harus tetap seperti sedia kala. Sebagai kenangan di masa kecil. Jadi tidak perlu diubah menjadi rumah batu.  Apalagi kalau ayahnya mengubah rumah hanya karena omongan tetangga.

 

    2. Apakah pernyataan berikut ini sesuai dengan cerita? Berilah tanda centang (√) pada kolom yang sesuai!

Pernyataan

sesuai

Tidak sesuai

Warga kampung memanggil ayah sabang dengan sebutan Kakek Songkok karena peci yang tak pernah lepas dari kepala kakek.

 

Sabang menyambut baik niat Kakek Songkok untuk menjadikan rumah papan menjadi rumah batu.

 

Ibu sabang  sudah berapa kali jatuh karena papan-papan rumahnya sudah tua.

 

Pertengkaran antara sabang dengan ayahnya disebabkan sabang ingin mempertahankan rumah batunya.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar